Hak Berubah

“Berikan saya masa,” katanya.

Saya kecilkan mata, cuba untuk menduga ketika dengar suara seraknya di hujung talian yang kabur. Demi tuhan, saya sendiri tak tahu apa yang saya rasa ketika itu. Penuh kemungkinan – tona suaranya mendatar, bunyi kasar kipas di biliknya, lagu balada yang syahdu – semuanya dalam satu bentuk pandangan yang begitu gelap, begitu lopong.

Ia seperti saya tak pernah langsung kenal dengannya.

Beberapa tahun yang sebelumnya dia bukan begini. Remajanya penuh dengan corak rawak dan warna cerah. Saya sendiri yang saksikannya dari jauh. Dia lebih suka mencabar diri untuk berlayar ke tempat yang asing dan janggal, persis protagonis dalam buku pengembaraan fantasi, sambil meraikan kehidupan bahayanya dengan meriah dan bangga.

Ada masa saya cukup cemburu dengannya, kau tahu, seperti waktu dia mampu jadi seorang tukang cerita yang dahsyat. Semua dari kami sanggup duduk di depannya dengan riak yang fokus: dituang dengan prolog yang dunianya memerangkap kami secara tiba-tiba, tertidur khayal dalam naratif tengah yang beralun, sebelum klimaks yang menekan kuat jiwa dan akal kami.

Waktu tersebut, dia seperti pembawa pesanan dengan wahyu yang gemilang.

Kali ini, saya hanya mundar-mandir memikirkan fasa hidupnya yang berubah. Beberapa bulan lepas semuanya seperti tak kena baginya; senyumannya tak lagi dengan riak yang jelek, matanya kelam seperti ikan-ikan mati yang dijual di pasar, dan langkahnya tak lagi di depan atau sebelah – dia sentiasa berada di belakang kami dalam jarak satu meter atau lebih. Saya tertanya, ke mana dirinya yang lama? Dia hanya menjawab, takkan saya tak dibenarkan untuk pudar seperti awam yang lain?

Saya diam.

Akal saya menarik dari lamunan untuk kembali ke talian. Bunyi nafasnya cukup ketara dan entah bagaimana saya dapat lihat imej senyum-murungnya dalam kepala.

“Berapa banyak masa yang awak perlukan?”

“Saya tak tahu,” dia gelak kecil, saya cukup pasti, “mungkin hingga waktu apabila saya mampu cari jawapan tentang bagaimana realiti berfungsi.”